masa pacaran -- untuk memastikan apakah saling
mencinta beneran atau gak... jangan sampai setelah
menikah baru menyadari dan cerai... sehingga yg
kasihan ya anak2lah...
Untuk pacaran boleh sama siapa saja.. tetapi untuk
dijadikan istri atau suami haruslah orang yang betul2
baik hati, bisa menerima keluarga apa adanya jadi
nantinya bisa rukun sama saudara ipar gitu (kakak atau
adik)... mencintai pasangan berarti juga mencintai
keluarganya gitu lho... Kalau dapat pasangan yang cuek
bebek... ya nanti di hari tua bisa terlantar...
dicuek-bebekin saat sakit, dll. He..he.. selamat
membaca dan praktekkan ya...
Cinta Berpijak pada Perasaan Sekaligus Akal Sehat.
Miskonsepsi pertama yang ditentang Bowman adalah
manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan
belaka.
Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak
menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita
diharapkan untuk juga menggunakan akal sehat.
Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu
saja tanpa bisa mengelak. Yang sesungguhnya terjadi,
proses jatuh cinta dipengaruhi tradisi,kebiasaan,
standar, gagasan, dan ideal kelompok dari mana kita
berasal.
Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa
saja saat jatuh cinta, dan tidak bisa dimintai
pertanggunganjawab bila perbuatan-perbuatan
impulsif itu berakibat buruk suatu ketika nanti.
Kehilangan perspektif bukanlah pertanda kita jatuh
cinta, melainkan sinyal kebodohan.
Cinta membutuhkan proses !!! Bowman juga menolak
anggapan cinta bisa berasal dari pandangan pertama.
Cinta itu tumbuh dan berkembang dan merupakan emosi
yang kompleks, katanya. Untuk tumbuh dan berkembang,
cinta membutuhkan waktu.
Jadi memang tidak mungkin kita mencintai seseorang
yang tidak ketahuan asal-usulnya dengan begitu saja.
Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga
jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua
individu telah
berhasil melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan
memutuskan untuk memilih orang lain sebagai titik
fokus baru.
Yang mungkin terjadi dalam fenomena cinta pada
pandangan pertama adalah pasangan terserang perasaan
saling tertarik yang sangat kuat-bahkan sampai
tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu
berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda.
Dalam kasus cinta pada pandangan pertama, banyak orang
tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan
jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri.
Sebaliknya dengan orang yang benar-benar mencinta.
Mereka mencintai pasangan sebagai personalitas yang
utuh.
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi.
Bukan cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol
pasangan. Juga bukan cinta bila kita bersedia
mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang mencinta
tidak menganggap kekasih sebagai atasan atau bawahan,
tapi sebagai pasangan untuk berbagi, juga untuk
mengidentifikasi diri.
Bila kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi
pergaulannya, melarangnya beraktivitas positif,
mengatur seleranya berbusana) atau melulu mengalah
(tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak
keberatan dinomorsekiankan), berarti kita belum siap
memberi dan menerima cinta.
Cinta itu konstruktif.
Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi
kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan)
pasangan. Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif,
dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang
jatuh cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak
konstruktif, dia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan
minat terhadap masalahsehari-hari. Yang dipikirkan
hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun tak mungkin
tercapai. Bahkan impian itu bisa menjadi subsitusi
kenyataan.
Cinta tidak melenyapkan semua masalah.
Penganut faham romantik percaya cinta bisa mengatasi
masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala
penyakit (panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain
diyakini bisa diatasi dengan berbekal cinta belaka.
Faktanya, cinta tidaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa
membuat sepasang kekasih berani menghadapi masalah.
Permasalahan seberat apapun mungkin didekati dengan
jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang
tengah mabuk kepayang-berarti tidak benar-benar
mencinta-cenderung membutakan mata saat tercegat
masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia
mengenyampingkan problem.
Cinta cenderung konstan.
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga
bila grafik perasaan kita pada kekasih turun naik
sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa kekasih
lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita
mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara
realistis. Lantas saat kembali bersama, kita memandang
kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah segala
bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila
kita merasa kekasih hebat saat kita berdekatan
dengannya dan tidak lagi merasakan hal yang sama
saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita
terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat
bila saat dekat dan jauh dari pasangan, kita
menyukainya dalam kadar sebanding.
Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik.
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi
bahaya bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik
dan membencinya untuk banyak factor lainnya. Saat
jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna penting
bagi
setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya
terasa menyenangkan bila kita dan pasangan saling
menyukai personalitas masing-masing. Maka bukan cinta
namanya, melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak
fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna
apa-apa. Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat
hubungan kian dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan
fisik sedari permulaan.
Cinta tidak buta, tapi menerima.
Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta
melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena
besarnya cinta, dia berusaha menerima dan mentolerir.
Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun
keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud
baik. Tidak boleh ada kritik kasar, penolakan,
kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta. Meski
pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan
dengan penuh nafsu menerima tanpa keinginan
memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat
keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya
secuil keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.
Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan.
Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan
perkembangan hubungan dengan kekasih. Dia menghindari
segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa
mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat,
mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang
sedang tergila-gila mungkin saja berusaha keras
menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata
dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga
tercapailah kepuasan yang diincar. Orang yang
mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat
hubungan.
Cinta berani melakukan hal menyakitkan.
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang
sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian,
keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk
melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi
kebaikan. Seperti seorang ibu yang berkata tidak saat
anaknya minta es krim, padahal sedang flu.
Begitulah kita semua seharusnya bersikap pada
pasangan.
0 komentar:
Posting Komentar