Alat Bahasa

28 Juni 2010

artikel tentang cinta

Ini ada artikel ttg cinta.. bisa dijadikan ukuran pada

masa pacaran -- untuk memastikan apakah saling

mencinta beneran atau gak... jangan sampai setelah

menikah baru menyadari dan cerai... sehingga yg

kasihan ya anak2lah...

Untuk pacaran boleh sama siapa saja.. tetapi untuk

dijadikan istri atau suami haruslah orang yang betul2

baik hati, bisa menerima keluarga apa adanya jadi

nantinya bisa rukun sama saudara ipar gitu (kakak atau

adik)... mencintai pasangan berarti juga mencintai

keluarganya gitu lho... Kalau dapat pasangan yang cuek

bebek... ya nanti di hari tua bisa terlantar...

dicuek-bebekin saat sakit, dll. He..he.. selamat

membaca dan praktekkan ya...





Cinta Berpijak pada Perasaan Sekaligus Akal Sehat.

Miskonsepsi pertama yang ditentang Bowman adalah

manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan

belaka.

Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak

menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita

diharapkan untuk juga menggunakan akal sehat.



Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu

saja tanpa bisa mengelak. Yang sesungguhnya terjadi,

proses jatuh cinta dipengaruhi tradisi,kebiasaan,

standar, gagasan, dan ideal kelompok dari mana kita

berasal.



Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa

saja saat jatuh cinta, dan tidak bisa dimintai

pertanggunganjawab bila perbuatan-perbuatan

impulsif itu berakibat buruk suatu ketika nanti.

Kehilangan perspektif bukanlah pertanda kita jatuh

cinta, melainkan sinyal kebodohan.



Cinta membutuhkan proses !!! Bowman juga menolak

anggapan cinta bisa berasal dari pandangan pertama.

Cinta itu tumbuh dan berkembang dan merupakan emosi

yang kompleks, katanya. Untuk tumbuh dan berkembang,

cinta membutuhkan waktu.



Jadi memang tidak mungkin kita mencintai seseorang

yang tidak ketahuan asal-usulnya dengan begitu saja.

Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga

jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua

individu telah

berhasil melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan

memutuskan untuk memilih orang lain sebagai titik

fokus baru.



Yang mungkin terjadi dalam fenomena cinta pada

pandangan pertama adalah pasangan terserang perasaan

saling tertarik yang sangat kuat-bahkan sampai

tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu

berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda.



Dalam kasus cinta pada pandangan pertama, banyak orang

tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan

jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri.

Sebaliknya dengan orang yang benar-benar mencinta.

Mereka mencintai pasangan sebagai personalitas yang

utuh.



Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi.

Bukan cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol

pasangan. Juga bukan cinta bila kita bersedia

mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang mencinta

tidak menganggap kekasih sebagai atasan atau bawahan,

tapi sebagai pasangan untuk berbagi, juga untuk

mengidentifikasi diri.



Bila kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi

pergaulannya, melarangnya beraktivitas positif,

mengatur seleranya berbusana) atau melulu mengalah

(tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak

keberatan dinomorsekiankan), berarti kita belum siap

memberi dan menerima cinta.



Cinta itu konstruktif.

Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi

kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan)

pasangan. Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif,

dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang

jatuh cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak

konstruktif, dia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan

minat terhadap masalahsehari-hari. Yang dipikirkan

hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun tak mungkin

tercapai. Bahkan impian itu bisa menjadi subsitusi

kenyataan.



Cinta tidak melenyapkan semua masalah.

Penganut faham romantik percaya cinta bisa mengatasi

masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala

penyakit (panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain

diyakini bisa diatasi dengan berbekal cinta belaka.

Faktanya, cinta tidaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa

membuat sepasang kekasih berani menghadapi masalah.

Permasalahan seberat apapun mungkin didekati dengan

jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang

tengah mabuk kepayang-berarti tidak benar-benar

mencinta-cenderung membutakan mata saat tercegat

masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia

mengenyampingkan problem.



Cinta cenderung konstan.

Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga

bila grafik perasaan kita pada kekasih turun naik

sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa kekasih

lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita

mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara

realistis. Lantas saat kembali bersama, kita memandang

kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah segala

bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila

kita merasa kekasih hebat saat kita berdekatan

dengannya dan tidak lagi merasakan hal yang sama

saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita

terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat

bila saat dekat dan jauh dari pasangan, kita

menyukainya dalam kadar sebanding.



Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik.

Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi

bahaya bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik

dan membencinya untuk banyak factor lainnya. Saat

jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna penting

bagi

setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya

terasa menyenangkan bila kita dan pasangan saling

menyukai personalitas masing-masing. Maka bukan cinta

namanya, melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak

fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna

apa-apa. Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat

hubungan kian dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan

fisik sedari permulaan.



Cinta tidak buta, tapi menerima.

Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta

melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena

besarnya cinta, dia berusaha menerima dan mentolerir.

Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun

keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud

baik. Tidak boleh ada kritik kasar, penolakan,

kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta. Meski

pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan

dengan penuh nafsu menerima tanpa keinginan

memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat

keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya

secuil keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.



Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan.

Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan

perkembangan hubungan dengan kekasih. Dia menghindari

segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa

mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat,

mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang

sedang tergila-gila mungkin saja berusaha keras

menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata

dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga

tercapailah kepuasan yang diincar. Orang yang

mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat

hubungan.



Cinta berani melakukan hal menyakitkan.

Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang

sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian,

keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk

melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi

kebaikan. Seperti seorang ibu yang berkata tidak saat

anaknya minta es krim, padahal sedang flu.



Begitulah kita semua seharusnya bersikap pada

pasangan.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar